MAAF MASIH DALAM PENGEMBANGAN
Home » , , » Fungsi Kontrol Sosial : Alasan Atas Keberadaan LPM Agrica

Fungsi Kontrol Sosial : Alasan Atas Keberadaan LPM Agrica

Written By LPM Agrica on Jumat, 01 Juni 2012 | 22.37





Azas jurnalisme kami bukanlah azas jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya bahwa tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melengkapinya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengomunikasikan saling pengertian. Juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba. Yang memberi komando bukan kekuasaan atau uang, tapi niat baik, sikap adil dan akal sehat. (TEMPO, 1971)

Tidak banyak yang tahu. Selain sebagai pembawa informasi, fungsi pers juga sebagai kontrol Sosial. Pers mahasiswa (Persma) sebagai kontrol sosial, tercipta saat kebijakan yang diambil oleh birokrat kampus ( dekanat dan rektorat) maupun pemerintahan mahasiswa (BEM dan DLM) dirasa tidak tepat dan merugikan mahasiswa. Dalam hal ini, wartawan harus bersikap skeptis (tidak mudah percaya) dan kritis (selalu ingin tahu) terhadap kebijakan dan realita sosial. Kemudian menuliskannya sesuai data dan fakta yang sebenarnya terjadi dalam bentuk berita.

Kadangkala, berita yaitu kumpulan data dan fakta yang terjadi memberikan respon kurang enak bagi yang menerimanya. Bagi seorang kuli tinta, memberitakan kebenaran atas persoalan adalah harga mati. Selama masih dalam koridor kode etik jurnalistik, tak peduli berita itu pahit atau tidak.

Beberapa yang lalu, ada sebuah pamflet tentang “lembaga pers tidak independent”, ditujukan untuk LPM Agrica. Hal ini tentu menjadi cambuk bagi Persma. Pada dasarnya, LPM Agrica menerima hal ini. Ada ruang publik untuk melakukan pembelaan dan kritik. Kemudian, kami harus intropeksi, bilamana yang dikatakan tulisan tersebut benar adanya.

Namun, setelah menghubungi si pengirim (Rudi) beserta nomor handphone tertera, ternyata tidak bisa dihubungi. Lagipula anggota/reporter LPM Agrica, Muniroh Dinayati, yang disebutkan disana, terlalu dangkal mengatakan reporter bisa mempengaruhi isi pemberitaan. Selama ini keputusan pemberitaan hak preogatif redaksi. Yang bertanggung jawab adalah pimpinan redaksi.

Setiap berita yang ditulis, selalu mencantumkan nama di sudut paling bawah agar bisa dipertangungjawabkan. Muniroh Dinayati sejak Pemira BEM fakultas lalu, tidak lagi diperkenankan untuk mencari berita yang berkaitan dengan dirinya. Karena sudah masuk dalam pusaran kekuasaan (sekarang Staff Menteri BEM). Sampai detik ini, LPM Agrica berdiri sendiri, tidak ada campur tangan kekuasaan, apalagi organisasi ekstra kampus. Maka isi pemberitaan masih tetap indenpendent, bukan pesanan apalagi sengaja untuk menjatuhkan.

Usut punya usut, ternyata pamflet tersebut hanyalah surat kaleng. Pamflet yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya. LPM Agrica lebih melihatnya sebagai manuver politis untuk membungkam suara kritis media. Alasannya kuat, karena pada hari yang sama, ada pamflet sejenis untuk Persma di fakultas lain (LPM MEMI dan LPM SOLID). Hal itu sangat wajar, karena hari-hari itu aliansi persma se-Unsoed sedang melakukan kontrol sosial terhadap kebijakan pemira BEM U. Hal ini lumrah bagi media yang tidak mau tunduk pada penguasa. Kemudian, LPM Agrica sepakat bahwa hal itu tidak perlu ditanggapi.

Bagi orang yang bekerja di media, manuver seperti itu adalah hal lumrah. Keberadaan pers untuk memantau kebijakan, seringkali mendapat respon negatif dari pembuat kebijakan. Pun kemudian menimbulkan ancaman, kritik, cercaan, bahkan hinaan bagi lembaga pers tersebut.

Demokrasi dan kebebasan pers berada dalam garis lurus. Media akan menjadi ruang interaksi bagi publik. Di kampus, adakalanya birokrat kampus (BEM, DLM, Dekanat, Rektorat) yaitu si pembuat kebijakan tidak tahu, bahwa kebijakan yang berkaitan langsung dengan mahasiswa  akan berdampak terhadap mahasiswa. Maka dari itu, persma harus mampu menyampaikan kepada khalayak umum. Harapannya, pendapat dan pandangan dari mahasiswa yang terekam dari wawancara dapat tersampaikan dalam bentuk berita. Sehingga sampai ke telinga si pembuat kebijakan.

Dalam penulisan tersebut, wartawan harus berpegang pada mahkota profesi, yaitu kode etik jurnalistik (tidak ada kode etik pers).  Lazimnya pers umum bekerja untuk kepentingan publik. Begitu juga persma bekerja untuk kepentingan mahasiswa. Kode etik ada untuk melindungi publik, diberikan kepada profesi yang berkaitan langsung pada publik, seperti dokter, guru, advokat, dan jurnalis.

Bagi jurnalis, pelanggaran terhadap kode etik adalah penghinaan terhadap profesi. Pelanggaran kode etik adalah sebuah dosa tanpa ampun. Maka, setiap orang jurnalis wajib memegang teguh kode etik tersebut. Buat orang awam, jangan sekali-kali mengatakan seorang jurnalis telah melanggar kode etik sebelum mengerti dan mencari bukti tentang elemen-elemen kode etik tersebut.

Persma harus memberikan ruang bagi publik untuk menerima masukan, kritik, dan saran bagi produk media yang diterbitkan. Bagi pihak dirugikan atas pemberitaan, juga dapat memberikan hak jawabnya, dialamatkan lpmagricafaperta@gmail.com, atau via Facebook dan twitter. Karena sekali lagi, produk media (surat kabar, radio, majalah, televisi) adalah milik publik. Kepentingan Persma adalah transparansi informasi bagi seluruh khalayak.

Semua tulisan (tanggapan, opini, esai, cerpen, puisi, dan lainnya) untuk membangun komponen kampus lebih baik, layak untuk diterbitkan, asalkan bukan untuk mengintimidasi atau menjatuhkan elemen kampus. Selama masih di koridor etika penulisan, tidak akan ada editing. Asalkan ada nama jelas dan foto diri, maka tulisan tersebut dianggap bisa dipertanggungjawabankan. Karena bila cuma menulis, tanpa nama jelas, anak kecil tak bernyali pun bisa.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. LPM Agrica - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger